Translate

Minggu, 07 Desember 2014

Harapan Mulia Dari Teman Lama

Waktu itu aku lagi perjalanan pulang
kerumah sehabis pulang sekolah, ngga
sengaja ngelihat temen lama aku, yang
sekarang keadaannya udah berbeda jauh.
Terlihat dia sekarang lebih kurus, pipinya
yang semakin tirus, dan matanya yang
semakin tajam kedalam.

"Solihin.. Solihin.." Aku sapa dia, dengan
maksud ingin menanyai kabarnya.


Meskipun keadaan fisik yang sudah berbeda
tapi aku masih mengenalinya karena gaya
berjalan dia yang unik. Iya aku masih inget
dengan gaya dia berjalan.

"........."

Solihin nampak kebingungan dan mencari-
cari orang yang menyapanya, tengok kanan-
tengok kiri dia masih belum tau siapa orang
yang menyapanya. Padahal aku berada tak
jauh darinya.

"plaaaaak". Aku tepuk bahunya, dia pun
menengok ke arah aku.

"Oh kamu toh Jim". Sapa datar Solihin,
dengan wajah murung dan tak sedap
dipandang.

"Iyaa hin, gimana kabarnya? Orang dirumah
sehat?". Aku mulai ajak dia berbincang-
bincang, sambil nongkrong dipinggir jalan.
Akupun jadi ngga langsung pulang kerumah.

"Sehat semua Jim" jawab solihin, masih
dengan wajah murung dan semakin tak
sedap dipandang.

Aku pikir ada sesuatu yang mengganjal
dalam hatinya, pasti ada suatu masalah
dalam hidupnya nih. terlihat dari muka dia
yang semakin ngga jelas bentuknya.

Aku terus menanyai kondisi si Solihin ini.
kasian sih, dia temen lama aku, lagian juga
ngga ada yang peduli sama dia.

Setelah aku cerca dia dengan berbagai
pertanyaan, akhirnya aku tau apa yang jadi
permasalahan si Solihin ini. Setelah kedua
orang tuanya meninggal, otomatis ngga ada
yang ngurus dia lagi. Ditambah dia masih
harus mengurusi adiknya yang masih SD.

Bekerja dari pagi sampai malam, ngga ada
yang mengurus, ngga ada yang
mengingatkannya untuk makan, ngga ada
orang yang mendampinginya saat dia lelah,
ngga ada yang mensuport saat dia jatuh.
Begitulah nasib Solihin sekarang, yang dia
tau hanya bekerja untuk si adik agar bisa
bersekolah dan makan.

"Beruntung ya aku, masih bisa ngeliat wajah
orang tua yang sekarang lipatan-lipatan di
wajahnya semakin banyak" pikir aku dalam hati.

"Sekarang harapan kamu kedepannya
apa sih hin?". Aku mulai tanya dia lagi.

"Ngga muluk-muluk Jim, cuma pengen bisa
jadi pengganti orang tua buat adik aku.
Setidaknya dia ngga bernasib kaya aku."

"Mulia juga ya harapan kamu, pertahanin hin.
kalo emang kamu ngga bisa sekolah tinggi,
setidaknya adik kamu bisa bersekolah tinggi.
Jadiin adik kamu ini harapan kamu di masa
depan. Kan keren tuh pasangan kakak
beradik, yang satu pekerja keras dan yang
satu seorang yang intelek."

"oh iya sekarang udah punya pacar belum
hin? Haha.". Lanjut aku tertawa, sambil
ngeplak bahu si Solihin.

"Kalo masalah pacaran itu nanti ajalah Jim"
dengan wajah setengah imut, Solihin
menjawabnya dengan malu-malu.

"Kenapa hin, ngga doyan cewek?". Akupun
semakin semangat menggoda Solihin.

"Bukan itu masalahnya, aku doyan cewek
kok, lahap pula haha." Solihin mulai
menemukan selera bercandanya kembali.

"Untuk sekarang aku ngga ada waktu buat
cari pasangan, nanti yang ada malah kasian
ceweknya, jarang ada waktu sih. Lagian juga
aku masih belum punya apa-apa Jim."

"Yaudah hin, sukses buat kamu. Aku pulang
duluan nih, udah sore. Kapan-kapan kita
ngobrol lagi hin." Akupun pamit pulang
duluan dan meninggalkan Solihin yang masih
duduk dipinggir jalan raya.

"Oke Jim, sukses juga buat kamu. Hati-hati
dijalan." Balas Solihin sambil melambai-
lambaikan tangan ke arah aku.

Akupun kembali melanjutkan perjalanan
pulang ke rumah. banyak pelajaran yang aku
dapat, aku mungkin lebih beruntung
dibanding Solihin, aku harus lebih bersyukur,
harus lebih menyayangi adik aku satu-
satunya, harus lebih bekerja keras lagi, dan
banyak lagi.